Pemerintahan
VOC di Nusantara Pada
masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), gubernur jenderal merupakan
penguasa tertinggi di Hindia. Ia mempunyai kekuasaan yang nyaris tak terbatas
seperti halnya seorang raja absolut karena tidak ada undang-undang yang khusus
mengatur hak-hak dan kewajibannya. Demikian pula dengan struktur
pemerintahannya di Asia, khususnya Hindia Timur juga tidak ditentukan. Salah
satu pasal yang penting dari oktroi VOC adalah hak monopolinya, sehingga dengan
haknya itu VOC merupakan satu-satunya badan dari Belanda yang boleh mengirimkan
kapal-kapal ke daerah sebelah timur Tanjung Harapan.
Dalam melaksanakan pemerintahannya,
gubernur jenderal didampingi oleh Raad van Indië (dalam prinsipnya terdiri atas
enam orang anggota dan dua anggota luar biasa, di mana gubernur jenderal
merangkap sebagai ketua). Laporan-laporan mengenai aktivitas VOC secara berkala
dikirimkan ke dewan Heeren XVII, yang merupakan pimpinan pusat VOC yang
berkedudukan di Amsterdam.
Dalam menangani wilayah kekuasaannya,
VOC lebih banyak melakukannya melalui pemerintahan tidak langsung. Hanya
daerah-daerah tertentu saja, seperti Batavia, yang diperintah secara langsung
oleh VOC. Dalam sistem seperti ini, kaum pribumi nyaris tidak terlibat dalam
struktur kepegawaian VOC. Meskipun kaum elit pribumi terlibat dalam
pemerintahan, tetapi status mereka bukan pegawai VOC dan tidak digaji secara
tetap oleh kongsi dagang tersebut. Para elit pribumi lebih banyak diperlakukan
sebagai mitra kerja demi kepentingan VOC.
Hal ini terlihat jelas di
daerah-daerah yang diperintah secara tidak langsung. Di daerah semacam itu, VOC
membiarkan struktur lama (tradisional) tetap berdiri. Melalui para elit
tradisional inilah kepentingan VOC disalurkan, antara lain dalam hal
penarikan-penarikan wajib hasil produksi serta pajak-pajak yang dikenal dengan
sistem leverantie dan contingenten (leveransi dan kontingensi).
Masa
Peralihan (Proses menuju Hindia Belanda)
Pemerintahan Daendels. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, sebenarnya VOC sudah tidak ada sejak tahun 1796. Akan
tetapi, baru pada tanggal 1 Januari 1800— setelah masa berlaku oktroi-nya
berakhir—pembubaran VOC secara resmi diumumkan. Berkenaan dengan hal itu, semua
utang-piutang kongsi dagang itu menjadi tanggung jawab pemerintah Belanda.
Demikian pula dengan daerah kekuasaannya.
Peralihan kekuasaan dari VOC ke
pemerintah Belanda sendiri tidak membawa dampak yang cukup berarti bagi wilayah
Hindia Timur. Hal ini antara lain karena di Negeri Belanda sendiri masih
terjadi kekacauan setelah Napoleon Bonaparte dari Prancis menyingkirkan Raja
Willem van Oranje dan mendudukkan saudaranya, Louis Napoleon, sebagai raja baru
Belanda.
Dalam masa perlihan ini, pemerintah
Belanda yang baru belum memperhatikan daerah koloninya sehingga para pejabat di
wilayah Hindia Timur masih dipegang orang-orang lama. Akan tetapi, para pejabat
Belanda di Hindia sendiri dilanda kebimbangan setelah adanya surat edaran dari
Raja Willem yang orang itu kurang cakap. Para mantan pejabat yang dongkol ini
kemudian berkomplot dengan sebuah kelompok istana yang berada di sekeliling
putra mahkota.
Pada masa Daendels, pemerintahan di Jawa
dipusatkan dan langsung berada di bawah kekuasaannya. Salah satu tuntutan
Daendels yang paling menyakitkan rajaraja Jawa adalah tututan agar para
penguasa di Surakarta dan Yogyakarta memperlakukan utusan-utusan dari
pemerintah Hindia Timur sebagai wakil pemerintahan Eropa sehingga mereka harus
diperlakukan sederajat dengan raja-raja Jawa sendiri. Tentu saja hal itu
merupakan pelanggaran terhadap tradisi yang ada, yang telah disepakati pula
oleh VOC. Pada masa VOC, para utusannya diperlakukan sebagai duta-duta dari
sekutu kepada sekutu lainnya, yang berarti kedudukannya tidak sederajat dengan
raja. Susuhan Pakubuwono IV menerima perubahan ini, sementara Sultan
Hamangkubuwono II menolaknya.
Daendels bertindak tegas terhadap
pembangkangan ini. Dia datang ke Yogyakarta dengan membawa 3.200 serdadu
(sebagain besar adalah orang pribumi) dan memaksa Sultan Hamangkubuwono II
turun dari takhtanya. Kemudian ia menunjuk putera mahkota sebagai gantinya
dengan gelar Sultan Hamangkubuwono III (1810-1811, 1812-1814). Selain itu,
Daendels memperoleh 500.000 gulden sebagai pampasan dari Yogyakarta.
Sebelum kedatangan Daendels, pasukan
Inggris (dalam rangka perang melawan Napoleon) sebenarnya telah menguasai
beberapa wilayah Hindia Timur. Pada tahun 1795, pasukan Inggris menduduki
Padang dan Malaka dan tahun berikutnya, pasukan Inggris merebut Ambon. Selain
itu, armada laut Inggris juga memblokade Batavia sehingga mengacaukan
pendapatan pemerintah Belanda. Ancaman pasukan Inggris terhadap Pulau Jawa
sendiri semakin kuat setelah pangkalan Perancis di Mauritius jatuh ke pihak
mereka pada tahun 1810. Politik Daendels pada dasarnya hanya memprioritaskan
pertahanan di pulau Jawa. Untuk keperluan mobilitas pasukannya, dia membangun
jalan dari Anyer sampai Panarukan, yang terkenal sebagai jalan pos besar (het
grote postweg). Namun sebelum serangan Inggris tiba, Daendels ditarik ke Eropa
dan kedudukannya sebagai gubernur jenderal digantikan oleh Jan Willem Janssens,
yang sebenarnya mempunyai reputasi buruk dalam peperangan. Ia telah dikalahkan
Inggris di Tanjung Harapan pada tahun 1806.
Pemerintahan Janssens di Hindia hanya
bertahan beberapa bulan saja. Pada Agustus 1811, armada Inggris mendaratkan
pasukan di Batavia. Janssens mundur ke Semarang dan bergabung dengan Legium
Mangkunegara dan prajurit-prajurit Yogyakarta dan Surakarta. Akhirnya, seperti
di Tanjung Harapan, pada 18 September 1811, Janssens menyerah kepada pihak
Inggris di Kalituntang, Salatiga. Pemerintahan Raffles. Setelah Janssens
menyerah, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto, menunjuk Thomas Stamford
Raffles sebagai Letnan Gubernur Jawa (1811-1816). Pada awalnya, raja-raja Jawa
menaruh harapan dan merasa senang atas perubahan pemerintahan dari Belanda ke
Inggris. Penguasa lokal yang paling antusias menyambut pemerintahan Inggris
adalah Hamengkubuwono II. Setelah merebut kembali takhta Kerajaan Yogyakarta
dari tangan anaknya, dia memerintahkan untuk membunuh Patih Danureja II.
Hamangkubuwono II berani bertindak demikian, karena menurut penilaiannya,
Raffles sebagai musuh Belanda, tentu akan berpihak kepadanya. Meskipun Raffles
adalah musuh ‘Revolusi Perancis’, namun dia juga seorang ‘liberalis’. Seperti
halnya Daendels, dia membenci sifat-sifat feodalistik yang sangat menonjol
dalam diri Sultan Hamengkubuwono II.
Raffles menganggap Sultan Hamengkubuwono
II sangat berbahaya dan sulit diajak untuk bekerja sama. Posisinya berlainan
dengan Pakubuwono IV dan Mangkunegara yang dinilai lebih supel dan mudah diajak
kerja sama. Oleh karena itu, pada bulan Juni 1812, Raffles mengirimkan pasukan
ke Yogyakarta yang terdiri dari 1.200 prajurit kebangsaan Eropa dan India, yang
didukung oleh 800 prajurit Legiun Mangkunegara. Istana Yogyakarta digempur dan
dirampoknya. Perpustakaan dan arsip-arsip kerajaan dirampas, di samping
sejumlah besar uang. Hamangkubuwono II kembali diturunkan dari tahtanya dan
kemudian dibuang ke Pulau Penang. Kedudukannya digantikan kembali oleh
putranya, Sultan Hamangkubuwono III.
Akan tetapi kemenangan Raffles tersebut
menimbulkan perselisihan antara dirinya dengan sekutu Jawanya, Pakubuwono IV.
Penguasa Surakarta yang menghendaki hancurnya Yogyakarta, kecewa dengan
kebijakan yang diambil Raffles untuk tetap mempertahankan eksistensi
Yogyakarta. Kekecewaan itu semakin bertambah ketika penguasa Inggris mengambil
alih tanah-tanah apanase milik Surakarta serta mengambil alih hak pengelolaan
atas cukai lalu lintas dan pasar-pasar.
Selama pemerintahannya, Raffles masih
sempat memperkenalkan satu sistem perpajakan baru, khususnya pajak tanah
(landrent). Di samping itu, Raffles yang menyukai sejarah dan budaya, berhasil
menulis sebuah buku tentang Jawa yang berjudul History of Java. Masa
pemerintahan Inggris di Hindia Timur tidak berlangsung lama. Sesuai Perjanjian
London bulan Maret 1814 yang disepakati pemerintah Inggris dengan Raja Willem
van Oranje dari Belanda, pada tahun 1816 wilayah Hindia Timur dikembalikan
kepada Belanda.[gs]