Gerakan Dompea Kajang
– Gerakan Dompea adalah sebuah gerakan Adat masyarakat Kajang yang dibentuk
untuk membendung serangan Gerombolan (Gerakan DI/TII Pimpinan Kahar Muzakkar).
Seperti diketahui sewaktu Gerakan DI/TII eksis di Sulsel komunitas adat yang
ada di Sulsel diobrak-abrik, terutama yang dianggap menyimpang dari ajaran
Islam, karena Gerakan Kahar Muzakkar ini berideiologi Islam. Komunitas Adat
kajang yang dipimpin Oleh Ammatoa ini merupakan komunitas adat yang masih kukuh
dalam menjalankan ritual adat leluhur mereka. Masyarakat Adat kajang adalah
penganut dari sebuah keyakinan kuno yang disebut dengan Patuntung, pusat
spritual yang terpenting dari masyarakat adat Kajang berada didesa kajang
(Ilalang Embayya), Kabupaten Bulukumba yang terletak pada pantai utara
semananjung Sulsel. Pada zaman dahulu kala keyakinan kuno ini tersebar
disebagaian besar sul-sel, tetapi akibat tekanan pihak islam abad ke 19, maka
wilayah penyebarannya sangat terbatas dan jumlah penganutnya semakin berkurang.
Akan tetapi kepercayaan ini belum lenyap sama sekali, selain di Kajang masih
terdapat di sebagaian besar Gowa Timur dan selatan, dalam wilayah luas sekiatar
pegunungan Lompobattang dan Bawakaraeng.
Gerakan Dompea ini adalah sebuah gerakan yang dibentuk oleh
Ammatoa (Pemimpin Adat Masyarakat kajang) ia membentuk pasukan yang disebut
dengan Dompea. Dompea ini awalnya berjumlah tujuh orang, dipimping oleh Galla
Sangkala. Mereka kemudian berlatih di Borong Karama’. Dari jumlah tujuh orang
kemudian bertambah banyak dan akhirnya menjadi satu pasukan. Dompea ini
kemudian melakukan perlawanan bersenjata terhadapa pasukan Kahar atau pasukan
DI/TII saat itu. Ciri Khas Gerakan Dompea ini adalah memakai Passapu (Destar)
Hitam. Dengan persenjataan yang serba sederhana Pasukan Dompea ini
mempertahankan daerah mereka dari invasi Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar. Banyak
peristiwa yang terjadi semasa perlawanan pasukan Dompea terhadap Gerombolan,
diantaranya penyerangan sebuah Kampung di Barambang (Sebuah desa di Sinjai
Borong) oleh pasuakn gerombolan. Masyarakat Barambang yang dipimpin Puang
Barambang mengadakan titik darah penghabisan. Kisah heroik masih terukir pada
masyarakat disana, bahkan katanya Istri dari Puang barambang (Yang merupakan
salah satu petinggi Dompea) juga bangkit melawan sampai titik darah
penghabisan, Istri Puang Barambang Gugur oleh terjangan Peluru Gerombolan
DI/TII.
Gerombolan ini dikalangan masyarakat kajang disebut Tentara
Islam Indonesia (TII). Pada saat ini terjadi ketegangan antara masyarakat adat
dengan orang-orang TII. Hal ini disebabkan
orang-orang TII tidak membiarkan masyarakat melakukan acara- acara adat,
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Komunitas Adat Kajang dilarang yang
disertai dengan pemaksaan, pengancaman dan
pembakaran. Banyak masyarakat adat meninggalkan kawasan Amma Toa. Mereka mengungsikan diri agar tidak
dipaksa oleh orang-orang TII.
Pasukan TII melakukan pemaksaan ideologi yang akhirnya
mendapat tantangan dari Komunitas Adat Kajang. Gerombolan itu di bawah pimpinan
Bado dari Kalimporo. Pada saat pasukan GRI (pengembangan dari TII) dibawah
pimpinan Komandan Kompi Hami muncullah reaksi Komunitas Adat Kajang yang
dipimpin oleh Damang dari Benteng dan Galla Sangkala Puto Tonna dari Sangkala
menyusun rencana perlawan terhadap TII. Gerakan ini disebut “Jina”, karena
gerakannya dimulai dari hutan. Setelah menyiapkan diri selama 2 bulan mereka
akhirnya menyerang pasukan TII. Ciri khas mereka adalah memakai passapu hitam,
sehingga gerakan ini kemudian dikenal dengan gerakan Dompea.
Hampir semua komunitas lokal di sul-sel merasakan akibat
dari gerakan islamisasi yang dilakjukan oleh gerombolan DI/TII ini. Bissu misalnya, pada masa itu diburu-buru,
ditangkap, sebagian besar dibunuh, peralatan ritualnya dihancurkan. Yang
tertangkap dipaksa bekerja dan dipaksa menjadi laki-laki tulen. Tak kalah
memprihatinkannya adalah apa yang dialami oleh komunitas Bawakaraeng, komunitas
ini juga diburu-buru, dicegat keberangkatannya ke puncak gunung bawakaraeng,
banyak diantara mereka yang terbunuh karena tetap memaksakan diri pada
keyakinannya. Cerita serupa juga dialami oleh komunitas Cikoang di Takalar,
Karampuang di Sinjai dan beberapa komunitas yang lain yang ada di sul-sel ini. Di
komunitas Tanah Toa kajang sendiri, gerombolan Kahar Muzakkar yang masuk membawa missi memurnikan agama Islam
komunitas tanah Toa Kajang. Menurut Amma Toa, banyak dari kalangan masyarakat
yang merupakan pendukung adat saat itu yang dihabisi oleh pasukan DI/TII. Meskipun
menurut Amma Toa gerombolan ini tidak berhasil masuk kedalam kwasan ilalang
embayya, tetapi mereka banyak merusak peralatan ritual dan
kalompoang-kalompoang yang ditemukan di rumah penduduk.
Selain melakukan pemurnian islam dengan cara kekerasan,
pasukan kahar menurut penjelasan amma Toa saat itu juga memungut pajak dari
masyarakat. Pungutan pajak saat itu sebanyak sesuku (1/2 Rupiah), kalau tidak
sanggup dibayar malah semakin dinaikkan. Bagi yang tidak mau membayar malah
diculik. Persoalan inilah kemudian yang memicu perlawanan dari masyarakat Tanah
Toa kajang ini.[gs]