Penjajahan Pemerintah
Belanda - Ketiga jenis tanaman tersebut secara historis memiliki arti yang
sangat penting, ditambah dengan tanaman-tanaman yang lain seperti nila dan
karet. Tanaman tersebut telah menjadi tanaman pokok pada masa kolonial di
Indonesia, terutama pada era Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Pada masa itu,
Indonesia berada di bawah penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan
Tanam Paksa ini telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Nah, bagaimana kehidupan
rakyat pada masa penjajahan pemerintah kolonial? Berikut ini uraian tentang
“Menganalisis Penjajahan Pemerintah Hindia Belanda”.
Masa Pemerintahan
Republik Bataaf
Pada tahun 1795 terjadi perubahan di Belanda. Munculah
kelompok yang menamakan dirinya kaum patriot. Kaum ini terpengaruh oleh
semboyan Revolusi Prancis: liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), dan
fraternite (persaudaraan). Berdasarkan ide dan paham yang digelorakan dalam
Revolusi Prancis itu, maka kaum patriot menghendaki perlunya negara kesatuan.
Bertepatan dengan keinginan itu pada awal tahun 1795 pasukan Prancis menyerbu
Belanda. Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Belanda dikuasai Perancis.
Dibentuklah pemerintahan baru sebagai bagian dari Prancis yang dinamakan
Republik Bataaf (1795-1811). Republik Bataaf dipimpin oleh Louis Napoleon yang merupakan saudara dari
Napoleon Bonaparte. Sementara itu, Raja Willem van Oranye (Raja Willem V) oleh
pemerintah Inggris ditempatkan di Kota Kew. Raja Willem V kemudian mengeluarkan
perintah yang terkenal dengan “Surat-surat Kew”. Isi perintah itu adalah agar
para penguasa di negeri jajahan Belanda menyerahkan wilayahnya kepada Inggris
bukan kepada Prancis. Dengan “Surat-surat Kew” itu pihak Inggris bertindak
cepat dengan mengambil alih beberapa daerah di Hindia seperti Padang pada tahun
1795, kemudian menguasai Ambon dan Banda tahun 1796. Inggris juga memperkuat
armadanya untuk melakukan blokade terhadap Batavia.
Sudah barang tentu pihak Prancis dan Republik Bataaf juga
tidak ingin ketinggalan untuk segera mengambil alih seluruh daerah bekas
kekuasaan VOC di Kepulauan Nusantara. Karena Republik Bataaf ini merupakan
vassal dari Prancis, maka
kebijakan-kebijakan Republik Bataaf untuk mengatur pemerintahan di Hindia masih
juga terpengaruh oleh Prancis. Kebijakan utama Prancis waktu itu adalah
memerangi Inggris. Oleh karena itu, untuk mempertahankan Kepulauan Nusantara
dari serangan Inggris diperlukan pemimpin yang kuat. Ditunjuklah seorang muda
dari kaum patriot untuk memimpin Hindia, yakni Herman Williem Daendels. Ia
dikenal sebagai tokoh muda yang revolusioner.
- Pemerintahan Herman Willem Daendels (1808-1811). Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal memerintah di Nusantara pada tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris. Sebagai pemimpin yang ditunjuk oleh Pemerintahan Republik Bataaf, Daendels harus memperkuat pertahanan dan memperbaiki administrasi pemerintahan. Daendels juga ditugasi untuk memperbaiki kehidupan sosial ekonomi di Nusantara khususnya di tanah Jawa. Tampaknya Jawa menjadi sangat penting dan strategis dalam mengatur pemerintahan kolonial di Nusantara, sehingga menyelamatkan dan mempertahankan Jawa menjadi sangat penting. Daendels adalah kaum patriot dan berpandangan liberal. Ia kaum muda yang berasal dari Belanda yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Revolusi Perancis. Di dalam berbagai pidatonya, Daendels tidak lupa mengutip semboyan Revolusi Perancis. Daendels ingin menanamkan jiwa kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan di lingkungan masyarakat Hindia. Oleh karena itu, ia ingin memberantas praktik-praktik yang dinilai feodalistik. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih dinamis dan produktif untuk kepentingan negeri induk (Republik Bataaf ). Langkah ini juga untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus membatasi hak-hak para bupati yang terkait dengan penguasaan atas tanah dan penggunaan tenaga rakyat. Dalam rangka mengemban tugas sebagai gubernur jenderal dan memenuhi pesan dari pemerintah induk (Republik Bataaf), Daendels melakukan beberapa langkah strategis, terutama menyangkut bidang pertahanan-keamanan, administrasi pemerintahan, dan sosial ekonomi. Dalam rangka melaksanakan tugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendels melakukan langkah-langkah: (a) membangun benteng-benteng pertahanan baru, seperti benteng Meester Cornelis; (b) membangun pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujungkulon. Namun pembangunan pangkalan di Ujungkulon boleh dikatakan tidak berhasil; (c) meningkatkan jumlah tentara, dengan mengambil orang-orang pribumi karena pada waktu pergi ke Nusantara, Daendels tidak membawa pasukan. Oleh karena itu, Daendels segera menambah jumlah pasukan yang diambil dari orang-orang pribumi, yakni dari 4.000 orang menjadi 18.000 orang (baca Ricklefs, 2005); dan (d) membangun jalan raya dari Anyer (Jawa Barat, sekarang Provinsi Banten) sampai Panarukan (ujung timur Pulau Jawa, Provinsi Jawa Timur) sepanjang kurang lebih 1.100 km. Jalan ini dinamakan Jalan De Groote Postweg yang oleh masyarakat sering disebut dengan jalan Daendels. Pelaksanaan program pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan tersebut telah merubah citra Daendels. Pada awalnya Daendels dikenal sebagai tokoh muda yang demokratis dan dijiwai panji-panji Revolusi Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite dan fraternite. Namun setelah memegang tampuk pemerintahan, ia berubah menjadi diktator. Daendels juga mengerahkan rakyat untuk kerja rodi. Kerja rodi itu membuat rakyat yang sudah jatuh miskin menjadi semakin menderita, apalagi kerja rodi dalam pembuatan pangkalan di Ujungkulon. Lokasi yang begitu jauh, sulit dicapai dan penuh dengan sarang nyamuk malaria, menyebabkan banyak rakyat yang menjadi korban. Banyak rakyat Hindia yang jatuh sakit bahkan tidak sedikit yang meninggal. Daendels juga melakukan berbagai perubahan di bidang pemerintahan. Ia banyak melakukan campur tangan dan perubahan dalam tata cara dan adat istiadat di kerajaan-kerajaan di Jawa. Kalau sebelumnya pejabat VOC datang berkunjung ke istana Kasunanan Surakarta ataupun Kasultanan Yogyakarta ada tata cara tertentu, misalnya harus memberi hormat kepada raja, tidak boleh memakai payung emas, kemudian membuka topi dan harus duduk di kursi yang lebih rendah dari dampar (kursi singgasana raja), Daendels tidak mau menjalani seremoni yang seperti itu. Ia harus pakai payung emas, duduk di kursi sama tinggi dengan raja, dan tidak perlu membuka topi. Sunan Pakubuwana IV dari Kasunanan Surakarta terpaksa menerima, tetapi Sultan Hamengkubuwana II menolaknya (Baca Ricklefs, 2005). Penolakan Hamengkubuwana II terhadap kebijakan Daendels menyebabkan terjadinya perseteruan antara kedua belah pihak. Inilah benih-benih nasionalisme yang tumbuh di lingkungan Kasultanan Yogyakarta. Untuk memperkuat kedudukannya di Jawa, Daendels berhasil mempengaruhi Mangkunegara II untuk membentuk pasukan “Legiun Mangkunegara” dengan kekuatan 1.150 orang prajurit. Pasukan ini siap sewaktu-waktu untuk membantu pasukan Daendels apabila terjadi perang. Dengan kekuatan yang ia miliki, Daendels semakin congkak dan berani. Daendels mulai melakukan intervensi terhadap pemerintahan di Kasunanan Surakarta dan juga Kasultanan Yogyakarta. Melihat bentuk intervensi dan kesewenang-wenangan Daendels itu, Raden Rangga mulai melancarkan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Raden Rangga adalah kepala pemerintahan mancanegara di Madiun yang merupakan bawahan Kasultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, Sultan Hamengkubuwana II mendukung adanya perlawanan yang dilancarkan Raden Rangga. Namun perlawanan Raden Rangga ini segera dapat ditumpas dan Raden Rangga sendiri terbunuh. Setelah berhasil mematahkan perlawanan Raden Rangga, Daendels kemudian memberikan ultimatum kepada Sultan Hamengkubuwana II agar menyetujui pengangkatan kembali Danureja II sebagai patih dan Sultan harus menanggung kerugian perang akibat perlawanan Raden Rangga. Sultan Hamengkubuwana II menolak ultimatum itu. Akibatnya, pada Desember 1810 Daendels berangkat ke Yogyakarta dengan membawa 3.200 orang serdadu. Dengan kekuatan ini Daendels berhasil memaksa Hamengkubuwana II untuk turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada puteranya sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Hamengkubuwana III ini sering disebut Sultan Raja dan Hamengkubuwana II sering disebut Sultan Sepuh. Sekalipun sudah diturunkan dari tahta, Sultan Hamengubuwana II atau Sultan Sepuh ini masih diizinkan tinggal di lingkungan istana. Selain hal-hal di atas, Daendels juga melakukan beberapa tindakan yang dapat memperkuat kedudukannya di Nusantara. Beberapa tindakan yang dimaksud adalah sebagai berikut. (a) membatasi secara ketat kekuasaan raja-raja di Nusantara; (b) Daendels memerintah secara sentralistik yang kuat dengan membagi Pulau Jawa menjadi 23 wilayah besar (hoofdafdeeling) yang kemudian dikenal dengan keresidenan (residentie). Tiap karesidenan dapat dibagi menjadi beberapa kabupaten (regentschap) (Suhartono, “Dampak Politik Hindia Belanda (1800-1830)”, dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah, 2012). (c) berdasarkan Dekrit 18 Agustus 1808, Daendels juga telah merombak Provinsi Jawa Pantai Timur Laut menjadi 5 prefektur. (wilayah yang memiliki otoritas) dan 38 kabupaten. Terkait dengan ini maka Kerajaan Banten dan Cirebon dihapuskan dan daerahnya dinyatakan sebagai wilayah pemerintahan kolonial; (d) kedudukan bupati sebagai penguasa tradisional diubah menjadi pegawai pemerintah (kolonial) yang digaji. Sekalipun demikian para bupati masih memiliki hak-hak feodal tertentu. Untuk memperlancar jalannya pemerintahan dan mengatur ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, Daendels juga melakukan perbaikan di bidang peradilan. Daendels berusaha memberantas berbagai penyelewengan dengan mengeluarkan berbagai peraturan. (a) Daendels membentuk tiga jenis peradilan: (1) peradilan untuk orang Eropa, (2) peradilan untuk orang-orang Timur Asing, dan (3) peradilan untuk orang-orang pribumi. Peradilan untuk kaum pribumi dibentuk di setiap prefektur, misalnya di Batavia, Surabaya, dan Semarang; dan (b) peraturan untuk pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Pemberantasan korupsi diberlakukan terhadap siapa saja termasuk orang-orang Eropa, dan Timur Asing. » Coba lakukan analisis beberapa tindakan Daendels, kira-kira kesimpulan apa yang kamu peroleh dilihat dari manajemen pemerintahannya. Daendels juga diberi tugas untuk memperbaiki keadaan di Tanah Hindia, sembari mengumpulkan dana untuk biaya perang. Oleh karena itu, Daendels melakukan berbagai tindakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan Daendels itu misalnya: 1. Tegal 2. Bagelen 3. Banyumas 4. Cirebon 5. Priangan 6. Karawang 7. Buitenzorg (Bogor) 8. Banten 9. Batavia (Jakarta) 10. Surakarta 11. Yogyakarta 12. Banyuwangi 13. Besuki 14. Pasuruan 15. Kediri 16. Surabaya 17. Rembang 18. Madiun 19. Pacitan 20. Jepara 21. Semarang 22. Kedu 23. Pekalongan. (a) Daendels memaksakan berbagai perjanjian dengan penguasa Surakarta dan Yogyakarta yang intinya melakukan penggabungan banyak daerah ke dalam wilayah pemerintahan kolonial, misalnya daerah Cirebon; (b) meningkatkan usaha pemasukan uang dengan cara pemungutan pajak dan penjualan tanah kepada swasta; (c) meningkatkan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia; (d) rakyat diharuskan melaksanakan penyerahan wajib hasil pertaniannya; (e) melakukan penjualan tanah-tanah kepada pihak swasta; » Kamu telah mengetahui berbagai kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh Daendels, baik dalam bidang pertahanan- keamanan, politik pemerintahan, bidang peradilan maupun di bidang sosial ekonomi. Coba lakukan diskusi dengan anggota kelompokmu, kira-kira bagaimana dampaknya terhadap kehidupan masyarakat di Nusantara?. Selama tiga tahun memerintah di Hindia Belanda, Daendels dianggap gagal melaksanakan misi mempertahankan Pulau Jawa dari Inggris dan program yang dijalankannya dinilai merugikan negara karena korupsi makin merajalela. Oleh sebab itu Daendels dipanggil oleh pemerintah kolonial untuk kembali ke negaranya dan digantikan oleh Jan Willem Janssen.
- Pemerintahan Janssen (1811). Pada bulan Mei 1811, Daendels dipanggil pulang ke negerinya. Ia digantikan oleh Jan Willem Janssen. Janssen dikenal seorang politikus berkebangsaan Belanda. Sebelumnya Janssen menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Tanjung Harapan (Afrika Selatan) tahun 18021806. Pada tahun 1806 itu Janssen terusir dari Tanjung Harapan karena daerah itu jatuh ke tangan Inggris. Pada tahun 1810 Janssen diperintahkan pergi ke Jawa dan akhirnya menggantikan Daendels pada tahun 1811. Janssen mencoba memperbaiki keadaan yang telah ditinggalkan Daendels. Namun harus diingat bahwa beberapa daerah di Hindia Belanda sudah jatuh ke tangan Inggris. Sebetulnya pihak Belanda sebagai bawahan Prancis berusaha untuk mempertahankan koloni-koloni Belanda dari ancaman Inggris. Oleh karena itu, seperti telah dijelaskan di depan Perancis mengirim Daendels ke Indonesia dengan tugas utama untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Tetapi armada Inggris ternyata lebih kuat dan unggul. Jan Williem Janssen yang menggantikan Daendels tidak bisa berbuat banyak. Penguasa Inggris di India, Lord Minto kemudian memerintahkan Thomas Stamford Raffles yang berkedudukan di Pulau Penang untuk segera menguasai Jawa. Raffles segera mempersiapkan armadanya untuk menyeberangi Laut Jawa. Pengalaman pahit Janssen saat terusir dari Tanjung Harapan pun terulang. Pada Tanggal 4 Agustus 1811 sebanyak 60 kapal Inggris di bawah komando Raffles telah muncul di perairan sekitar Batavia. Beberapa minggu berikutnya, tepatnya pada tanggal 26 Agustus 1811 Batavia jatuh ke tangan Inggris. Janssen berusaha menyingkir ke Semarang bergabung dengan Legiun Mangkunegara dan prajurit-prajurit dari Yogyakarta serta Surakarta. Namun, pasukan Inggris lebih kuat sehingga berhasil memukul mundur Janssen beserta pasukannya. Janssen kemudian mundur ke Salatiga dan akhirnya menyerah di Tuntang. Penyerahan Janssen secara resmi ke pihak Inggris ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang yang ditandatangani pada tanggal 18 September 1811.
Perkembangan
Kolonialisme Inggris di Indonesia (1811-1816)
Tanggal 18 September 1811 adalah tanggal dimulainya
kekuasaan Inggris di Hindia. Gubernur Jenderal Lord Minto secara resmi
mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa. Pusat pemerintahan Inggris
berkedudukan di Batavia. Sebagai penguasa di Hindia, Raffles mulai melakukan
langkahlangkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan. Dalam
rangka menjalankan pemerintahannya, Raffles berpegang pada tiga prinsip.
Pertama, segala bentuk kerja rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti
penanaman bebas oleh rakyat. Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak
dihapuskan dan para bupati dimasukkan sebagai bagian pemerintah kolonial.
Ketiga, atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat
penggarap dianggap sebagai penyewa.
Berangkat dari tiga prinsip itu Raffles
melakukan beberapa langkah, baik yang menyangkut bidang politik pemerintahan
maupun bidang sosial ekonomi. Dalam menjalankan tugas di Hindia, Raffles didampingi oleh
para penasihat yang terdiri atas: Gillespie, Mutinghe, dan Crassen. Secara
geopolitik, Jawa dibagi menjadi 16 keresidenan. Selanjutnya untuk memperkuat
kedudukan dan mempertahankan keberlangsungan kekuasaan Inggris, Raffles
mengambil strategi membina hubungan baik dengan para pangeran dan penguasa yang
sekiranya membenci Belanda. Strategi ini sekaligus sebagai upaya mempercepat
penguasaan Pulau Jawa sebagai basis kekuatan untuk menguasai Kepulauan
Nusantara. Sebagai realisasinya, Raffles berhasil menjalin hubungan dengan
raja-raja di Jawa dan Palembang untuk mengusir Belanda dari Hindia. Tetapi nampaknya
Raffles tidak tahu balas budi. Setelah berhasil mengusir Belanda dari Hindia,
Raffles mulai tidak simpati terhadap tokoh-tokoh yang membantunya. Sebagai
contoh dengan apa yang terjadi pada Raja Palembang, Baharuddin. Raja Baharuddin
termasuk raja yang banyak jasanya terhadap Raffles dalam mengenyahkan Belanda
dari Nusantara, tetapi justru Raffles ikut mendukung usaha Najamuddin untuk
menggulingkan Raja Baharuddin.
Pada waktu Raffles berkuasa, konflik di lingkungan istana
Kasultanan Yogyakarta nampaknya belum surut. Sultan Sepuh yang pernah dipecat
oleh Daendels, menyatakan diri kembali sebagai Sultan Hamengkubuwana II dan
Sultan Raja dikembalikan pada kedudukannya sebagai putera mahkota. Tetapi
nampaknya Sultan Raja tidak puas dengan tindakan ayahandanya, Hamengkubuwana
II. Melalui seorang perantara bernama Babah Jien Sing, Sultan Raja berkirim
surat kepada Raffles. Surat itu isinya melaporkan bahwa di bawah pemerintahan
Hamengkubuwana II, Yogyakarta menjadi kacau. Dengan membaca isi surat dari
Sultan Raja itu, Untuk mendalami bagaimana perkembangan politik Kasultanan
Yogyakarta di masa pemerintahan kolonialisme Inggris, kamu dapat membaca
bukunya Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2005, atau buku-buku
sejarah yang ada di perpustakaan sekolah
Raffles menyimpulkan bahwa Sultan Hamengkubuwana II seorang
yang keras dan tidak mungkin diajak kerja sama bahkan bisa jadi akan menjadi
duri dalam pemerintahan Raffles di tanah Jawa. Oleh karena itu, Raffles segera
mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Gillespie untuk menyerang Keraton
Yogyakarta dan memaksa Sultan Hamengkubuwana II turun dari tahta. Sultan
Hamengkubuwana II berhasil diturunkan dan Sultan Raja dikembalikan sebagai
Sultan Hamengkubuwana III. Sebagai imbalannya Hamengkubuwana III harus menandatangani kontrak bersama Inggris.
Isi politik kontrak itu antara lain sebagai berikut. 1) Sultan Raja secara resmi ditetapkan sebagai
Sultan Hamengkubuwana III, dan Pangeran Natakusuma (saudara Sultan Sepuh)
ditetapkan sebagai penguasa tersendiri di wilayah bagian dari Kasultanan
Yogyakarta dengan gelar Paku Alam I;
2) Sultan Hamengkubuwana II dengan
puteranya Pangeran Mangkudiningrat diasingkan ke Penang; dan 3) semua harta benda milik Sultan Sepuh selama
menjabat sebagai sultan dirampas menjadi milik pemerintah Inggris. » Bagaimana
analisismu tentang politik dan kebijakan Raffles, yang menjadikan Jawa terbagi
dalam keresidenan-keresidenan?. Kemudian bagaimana penilaianmu tentang sikap
politik Raffles yang mendukung Najamuddin dan ikut menurunkan Raja Baharuddin?
Mengapa Raffles mendukung Sultan Raja dan memecat Sultan Sepuh? Politik apa
yang sedang dipraktikkan Raffles di Palembang dan Yogyakarta? Untuk apa politik
itu dipraktikkan?
Tidak ubahnya Daendels, Raffles bisa dikatakan adalah tokoh
pembaru dalam menata tanah jajahan. Pandangannya di bidang ekonomi juga cukup
revolusioner. Raffles berusaha melakukan beberapa tindakan untuk memajukan
perekonomian di Hindia. Tetapi program itu tujuan utamanya untuk meningkatkan
keuntungan pemerintah kolonial. Beberapa kebijakan dan tindakan yang dijalankan
Raffles sebagai berikut. 1) Pelaksanaan
sistem sewa tanah atau pajak tanah (landrent) yang kemudian meletakkan dasar bagi perkembangan sistem
perekonomian uang. 2) Penghapusan penyerahan wajib hasil bumi. 3) Penghapusan kerja rodi dan perbudakan.
4) Penghapusan sistem monopoli. 5) Peletakan desa sebagai unit administrasi
penjajahan. Kebijakan dan program
landrent yang dicanangkan Raffles tersebut terkait erat dengan pandangannya mengenai status tanah sebagai
faktor produksi. Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah
yang sah. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila penduduk Jawa menjadi
penyewa dengan membayar pajak sewa tanah dari tanah yang diolahnya. Pajak
dipungut perorangan (tetapi karena kesulitan teknis, kemudian dipungut per
desa). Jumlah pungutannya disesuaikan dengan jenis dan produktivitas tanah.
Hasil sawah kelas satu dibebani 50% pajak, kelas dua 40%, dan kelas tiga 33%. Sementara untuk tegalan
kelas satu 40%, kelas dua 33% dan kelas tiga 25% (Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, 2007). Beban pajak ini
tentu sangat memberatkan rakyat.
Pajak yang dibayarkan penduduk diharapkan berupa uang.
Namun, jika terpaksa pajak dapat juga dibayar dengan barang lain, misalnya
beras. Pajak yang dibayar dengan uang diserahkan kepada kepala desa untuk
kemudian disetorkan ke kantor residen, sedangkan pajak yang berupa beras
dikirim ke kantor residen setempat oleh yang bersangkutan atas biaya sendiri.
Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ulah pimpinan setempat yang sering
memotong/mengurangi penyerahan hasil panen itu.
Kita tahu bahwa para pimpinan atau pejabat pribumi sudah
dialihfungsikan menjadi pegawai pemerintah yang digaji. Pelaksanaan sistem
landrent itu diharapkan dapat lebih mengembangkan sistem ekonomi uang di Hindia
Belanda. Kemudian ditempatkannya desa sebagai unit administrasi pelaksanaan
pemerintah, dimaksudkan agar desa menjadi lebih terbuka sehingga bisa berkembang.
Kalau desa berkembang maka produksi juga akan meningkat, hidup rakyat bertambah
baik, sehingga hasil penarikan pajak tanah juga akan bertambah besar. Raffles
juga ingin memberikan kebebasan bagi para petani untuk menanam tanaman yang
sekiranya lebih laku di pasar dunia, seperti kopi, tebu, dan nila.
Raffles sebenarnya orang yang berpandangan maju. Ia ingin
memperbaiki tanah jajahan, termasuk ingin meningkatkan kemakmuran rakyat.
Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan terdapat berbagai kendala. Budaya dan
kebiasaan petani sulit diubah, pengawasan pemerintah kurang, dalam mengatur
rakyat peran kepala desa dan bupati lebih kuat dari pada asisten residen yang
berasal dari orang-orang Eropa. Raffles juga sulit melepaskan kultur sebagai
penjajah. Kerja rodi, perbudakan dan juga monopoli masih juga dilaksanakan.
Misalnya kerja rodi untuk pembuatan dan perbaikan jalan ataupun jembatan.
Raffles juga melakukan monopoli garam. Secara umum dapat dikatakan Raffles
kurang berhasil untuk mengendalikan tanah jajahan sesuai dengan idenya.
Pemerintah Inggris tidak mendapat keuntungan yang berarti. Sementara rakyat
tetap menderita. » Nah, kamu sudah mengetahui bagaimana beberapa ketentuan
kebijakan yang dicanangkan oleh Raffles sejak dari program landrent sampai
menempatkan desa sebagai unit administrasi pemerintah, agar desa lebih terbuka,
bebas dan produktif. Tetapi bagaimana pelaksanaannya di lapangan? Dapatkah
Raffles berhasil mendorong rakyat pedesaan semakin produktif? Lakukan diskusi
dengan anggota kelompok. Kamu dapat membaca bukubuku sejarah yang sudah ada.
Di luar itu semua, tampaknya Raffles juga seorang ilmuwan.
Raffles juga sangat memperhatikan terhadap bahasa dan adat istiadat masyarakat di Jawa. Ia juga sangat tertarik
pada antropologi dan botani. Makalahmakalahnya kemudian diterbitkan dalam
majalah Verhandelingen . Bahkan begitu
terkesan dengan Indonesianya dengan segala budayanya, apalagi Jawa, maka
setelah pulang ke Inggris, Raffles kemudian menulis buku History of Java Untuk
merealisasikan buku itu, Raffles dibantu
oleh juru bahasa, antara lain Raden Ario Notodiningrat. Ia juga memberikan
bantuan penelitian John Crawfurd, sehingga berhasil menyelesaikan tulisannya
yang berjudul History of the East Indian Archipelago .
Dominasi Pemerintahan Belanda
Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia pada tahun
1816. Pemerintah Inggris sebenarnya telah menunjuk John Fendall untuk
menggantikan Raffles tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London.
Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan
di Hindia kepada Belanda. Dengan demikian, pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara
kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan Kolonial
Belanda. Setelah kembali ke tangan
Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris
Jenderal yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk
oleh Pangeran Willem VI yang beranggotakan
tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout, Arnold Ardiaan Buyskes, dan
Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen.
Semula Elout ditunjuk sebagai ketua, tetapi kemudian
digantikan oleh Van der Capellen sebagai ketua dan sekaligus sebagai gubernur
jenderal. Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di negeri jajahan,
Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah untuk negeri jajahan (
Regerings Reglement ) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undangundang
tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini
menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana
diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.
Berbekal ketentuan dalam undang-undang tersebut ketiga
anggota Komisaris Jenderal itu berangkat ke Hindia Belanda. Ketiganya sepakat
untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan oleh Raffles. Mereka
sampai di Batavia pada 27 April 1816. Ketika melihat kenyataan di lapangan,
Ketiga Komisaris Jenderal itu bimbang untuk menerapkan prinsipprinsip
liberalisme dalam mengelola tanah jajahan di Nusantara. Hindia dalam keadaan
terus merosot dan pemerintah mengalami kerugian. Kas negara di Belanda dalam
keadaan menipis. Mereka sadar bahwa tugas mereka harus dilaksanakan secepatnya
untuk dapat mengatasi persoalan ekonomi baik di Tanah Jajahan maupun di Negeri
Induk.
Sementara itu perdebatan antara kaum liberal dan kaum
konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan
keuntungan sebesarbesarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan
bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila
diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang
kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan
keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.
Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat
kenyataan di lapangan serta memperhatikan pandangan kaum liberal dan kaum
konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan “jalan
tengah”. Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani
pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi negeri
induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk
berusaha di tanah jajahan. Tetapi kebijakan jalan tengah ini tidak dapat
merubah keadaan.
Pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU
yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur
jenderal. Van der Capellen kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia
ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu
berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapusan peran penguasa tradisional
(bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik
pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong
terjadinya perlawanan. Van der Capellen
kemudian dipanggil pulang dan digantikan
oleh Du Bus Gisignies.
Du Bus Gisignies
berkeinginan membangun modal dan meningkatkan ekspor. Tetapi program ini
tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan
barang-barang yang diekspor. Kenyataannya justru impor lebih besar dibanding
ekspor. Tentu ini sangat merugikan bagi pemerintah Belanda. Gambar 1.22 Van der
Capellen Sumber: Indonesia Dalam Arus Sejarah jilid 4 (Kolonisasi dan
Perlawanan), 2012. Kondisi tanah jajahan
dalam kondisi krisis, kas negara di negeri induk pun kosong. Hal ini disebabkan
dana banyak tersedot untuk pembiayaan perang di tanah jajahan. Sebagai contoh
Perang Diponegoro yang baru berjalan satu tahun sudah menguras dana yang luar biasa,
sehingga pemerintahan Hindia Belanda dan pemerintah negeri induk mengalami kesulitan ekonomi.
Pengeluaran keuangan menjadi tidak terkontrol, sementara pengembangan usaha
harus terus dilakukan untuk memperbaiki kondisi keuangan. Untuk mengatasi dan mengatur
keuangan ini diperlukan suatu lembaga keuangan yang bonafit. Oleh karena itu,
sebagai bentuk persetujuannya, Raja Belanda mengeluarkan oktroi . Atas dasar
oktroi ini dibentuklah De Javasche Bank
pada tanggal 9 Desember 1826. Kemudian oleh Gubernur Jenderal Du Bus
Gisignies dikeluarkan Surat Keputusan No. 25 tertanggal 24 Desember 1828
tentang Akte Pendirian De Javasche Bank . Pembentukan De Javasche Bank ini
sekaligus juga merupakan bentuk dukungan Raja terhadap rencana pelaksanaan
Tanam Paksa di Indonesia/Hindia.
Pemulihan kondisi ekonomi dan keuangan Belanda harus segera
diprogramkan. Apalagi setelah keberhasilan Belgia dalam berjuang untuk
memisahkan diri dari Belanda pada tahun 1830. Dengan pisahnya Belgia dari
Belanda ini menjadi pukulan bagi Belanda. Keadaan ekonomi Belanda semakin
berat. Sebab, Belanda banyak kehilangan lahan industri sehingga pemasukan
negara juga semakin berkurang. Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana
untuk mengatasi problem ekonomi. Berbagai pendapat mulai dilontarkan oleh
para pemimpin dan tokoh masyarakat.
Salah satunya pada tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch
mengajukan kepada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan sistem dan cara
melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch berpendapat
untuk memperbaiki ekonomi di Negeri Belanda, di tanah jajahan harus dilakukan
penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia. Sesuai dengan keadaan
di negeri jajahan, maka sistem penanaman harus dikembangkan dengan memanfaatkan
kebiasaan kaum pribumi/petani, yaitu dengan “kerja rodi”. Oleh karena itu,
penanam yang dilakukan para petani itu bersifat wajib. Kita, orang Indonesia
menyebut sistem ini dengan nama “Sistem Tanam Paksa”. Van den Bosch menggunakan
prinsip bahwa daerah jajahan itu fungsinya sebagai tempat
mengambil keuntungan bagi negeri induk. Diibaratkan oleh
Baud, Jawa adalah “gabus tempat Nederland mengapung”. Jadi dengan kata lain
Jawa harus dieksploitasi semaksimal mungkin untuk keuntungan negeri penjajah.
Dapat dikatakan Jawa dimanfaatkan
sebagai sapi perahan.
Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan
Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Dengan cara ini diharapkan perekonomian Belanda
dapat dengan cepat pulih dan semakin meningkat. Bahkan dalam salah satu tulisan
Van den Bosch membuat suatu perkiraan bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman
ekspor dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap
tahun. Van den Bosch menyatakan bahwa cara paksaan seperti yang pernah
dilakukan VOC adalah cara yang terbaik untuk memperoleh tanaman ekspor untuk
pasaran Eropa. Dengan membawa dan memperdagangkan hasil tanaman
sebanyak-banyaknya ke Eropa, maka akan mendatangkan keuntungan yang sangat
besar.
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan
perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai
Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa, Van den Bosch segera
mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa mewajibkan
para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia.
Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau, tebu, dan nila.
Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada
Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara
lain sebagai berikut. a) penduduk
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk
pelaksanaan Tanam Paksa; b) tanah
pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh
melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa; c) waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk
menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan
untuk menanam padi; d) tanah yang
disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah; e) hasil tanaman yang terkait dengan
pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika
harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus
dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.;
f) kegagalan panen yang bukan
disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah; g) penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah
untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa
pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum; dan
h) penduduk yang bukan petani,
diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65
hari dalam satu tahun;
Menurut apa yang tertulis di dalam ketentuan-ketentuan
tersebut di atas, tampaknya tidak terlalu memberatkan rakyat. Bahkan pada
prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan apabila memang tidak
dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Ini artinya ketentuan Tanam Paksa
itu masih memperhatikan martabat dan
batas-batas kewajaran nilai-nilai kemanusiaan.
Menurut Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam Paksa harus
menggunakan organisasi dan kekuasaan tradisional yang sudah ada. Dalam hal ini
para pejabat bumiputra, kaum priayi dan kepala desa memiliki peran penting.
Mereka ini sangat diharapkan dapat menggerakkan kaum tani wajib menanam tanaman
yang laku di pasaran dunia. Kekuasaan mereka harus diperkokoh dengan cara
diberi hak pemilikan atas tanah dan hakhak istimewa yang lain. Para penguasa
pribumi akhirnya lebih menjadi alat kolonial.
Dengan demikian masyarakat umum sudah kehilangan pimpinan yang menjadi tempat berlindung di negerinya
sendiri.
Berkaitan dengan
pengerahan tenaga kerja melalui kegiatan seperti sambatan , gotong
royong maupun gugur gunung, merupakan usaha yang tepat untuk dilaksanakan.
Dalam hal ini peran para penguasa pribumi, priayi dan juga kepada desa sangat
sentral. Kemudian kepala desa di samping sebagai penggerak para petani, juga
sebagai penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah. Oleh karena posisi
yang begitu penting itu maka kepala desa tetap berada di bawah pengaruh dan
pengawasan para pamong praja. Para penguasa pribumi dan juga kepala desa ini
dalam menjalankan tugasnya juga
mendapatkan bonus atau cultuur procenten dari pemerintah kolonial. Besaran
bonus itu tergantung dari besar kecilnya hasil setoran kepada pemerintah
kolonial. Semakin besar setoran dari petani kepada pemerintah kolonial yang ada
di wilayahnya, pejabat pribumi di tempat itu juga akan menerima bonus semakin
besar pula. Hal inilah yang mendorong terjadinya berbagai penyelewengan dalam
pelaksanaan Tanam Paksa. Para penguasa pribumi demi mengejar cultuur procenten
yang besar, kemudian memaksa para petani di wilayahnya untuk menanam tanaman yang
diwajibkan dalam sistem Tanam Paksa sebanyak-banyaknya agar dapat menyetorkan hasil yang besar kepada pihak
kolonial. Sistem cultuur procenten inilah kemudian mendorong terjadinya
berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Tanam Paksa. Beberapa penyelewengan
itu antara dapat dicontohkan sebagai berikut. a) Menurut ketentuan tanah pertanian yang
disediakan penduduk untuk kepentingan Tanam Paksa tidak melebihi seperlima dari
tanah pertanian yang dimiliki petani, tetapi kenyataannya lebih dari seperlima,
sepertiga, bahkan ada yang setengah dan daerahdaerah tertentu ada yang lebih
dari setengah tanah yang dimiliki petani. Hal ini dimaksudkan agar setoran
hasil tanamannya juga bertambah besar, dan bonusnya juga semakin banyak. b) Menurut ketentuan waktu yang diperlukan
untuk menanam tanaman untuk Tanam Paksa tidak boleh melebihi waktu untuk
menanam padi, ternyata dalam pelaksanaannya waktu yang digunakan untuk menanam
tanaman bagi Tanam Paksa melebihi waktu penanaman padi. Semua ini jelas terkait
agar hasil tanaman untuk Tanam Paksa itu lebih banyak.
Di atas juga sudah diberi contoh sebagian dari bentuk
penyelewengannya. Coba beri contoh Tanam Paksa telah membawa penderitaan
rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit, bahkan meninggal. Mereka dipaksa fokus
bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak
terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai
daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan
pada tahun 1850. Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini Belanda telah
mengeruk keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831 hingga
tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden,
utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dapat
dibangun. Belanda menikmati keuntungan di atas penderitaan sesama manusia.
Pelaksanaan Tanam Paksa dapat dikatakan telah melanggar
hak-hak asasi manusia. Memang harus diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa,
misalnya, dikenalkannya beberapa jenis tanaman baru yang menjadi tanaman
ekspor, dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya jaringan rel
kereta api. Beberapa hal ini memang sangat berarti dalam kehidupan masyarakat
di kemudian hari. » Nah, kamu sudah belajar tentang sejarah Tanam Paksa. Kamu
juga mengetahui berbagai macam jenis tanaman yang dikembangkan pada masa Tanam
Paksa. Apakah jenis tanaman di masa Tanam Paksa tersebut pada masa sekarang
masih ada yang menjadi komoditas primadona pertanian dan perkebunan di
Indonesia? Coba kamu cari komoditas Tanam Paksa tersebut yang saat ini masih
menjadi andalan ekspor Indonesia. Carilah data negara mana saja yang menjadi
tujuan ekspor komoditas tersebut!
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki
perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan dari
Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai negara industri. Sejalan
dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum liberal yang didukung oleh
para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan
Tanam Paksa. Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung
ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa.
Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan
adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah. Mereka setuju karena
Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan. Begitu juga para pemegang
saham perusahaan NHM ( Nederlansche Handel Matschappij ), yang mendukung
pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli untuk mengangkut
hasil-hasil Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa. Sementara, pihak yang
menentang pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa
kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok
yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal
menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi.
Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta.
Nederlansche Handel Matschappij: perusahaan dagang yang
didirikan oleh Raja William I di Den Haag pada 9 Maret 1824 sebagai promosi
antara lain bidang perdagangan dan perusahaan pengiriman, dan memegang peran
penting dalam mengembangkan perdagangan Belanda-Indonesia. » Mengapa kaum
konservatif dan pegawai pemerintah
mendukung dilanjutkannya Tanam Paksa sementara kaum liberal menolak Tanam
Paksa? Coba lakukan telaah kritis tentang hal itu!
Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin berkembang dan
pengaruhnya semakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850 Pemerintah mulai bimbang.
Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen (
Staten Generaal ). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah
jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya perubahan
dan pembaruan. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus dikurangi,
sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk mengelola
kegiatan ekonomi. Pemerintah berperan sebagai pelindung warga, mengatur
tegaknya hukum, dan membangun sarana prasarana agar semua aktivitas masyarakat
berjalan lancar.
Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia
Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun
1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama
samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrakkontrak Gula)
tulisan Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap
pelaksanaan Tanam Paksa. Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah menjadi pendapat
umum. Oleh karena itu, secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan
mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal. Hal ini juga didorong oleh isi
kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani tahun 1871. Di dalam
Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Inggris memberikan kebebasan
kepada Belanda untuk meluaskan daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai
imbangannya Inggris meminta kepada Belanda agar menerapkan ekonomi liberal sehingga pihak swasta termasuk
Inggris dapat menanamkan modalnya di tanah jajahan Belanda di Hindia. »
Berdasarkan uraian yang ada coba tuliskan apa latar belakang penerapan sistem
politik ekonomi liberal. Bagaimana pelaksanaannya?
Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal
memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah
jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri
jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan
perundang-undangan. 1) Tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Perbendaharaan
Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran
belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh parlemen. 2)
Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur
tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap
akan diserahkan kepada pihak swasta.
3) Undang-Undang Agraria
(Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur tentang
prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu
ditegaskan, antara lain: a) Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda
dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa
persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanahtanah hutan, pegunungan
dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah
pemerintah. b) Pemerintah mengeluarkan
surat bukti kepemilikan tanah. c) Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah
pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha
swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama lima tahun, ada juga
yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada
pemerintah. Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta semakin banyak
memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan penting
dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena itu, mulailah era imperialisme
modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi
sebagai: (1) tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri
di Eropa, dan tempat penanaman modal asing, (2) tempat pemasaran barang-barang
hasil industri dari Eropa, (3) penyedia tenaga kerja yang murah.Usaha
perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang. Beberapa jenis tanaman
perkebunan yang dikembangkan misalnya tebu, tembakau, kopi, teh, kina, kelapa
sawit, dan karet. Hasil barang tambang juga meningkat. Industri ekspor terus
berkembang pesat seiring dengan permintaan dari pasaran dunia yang semakin
meningkat.
Untuk mendukung pengembangan sektor ekonomi, diperlukan
sarana dan prasarana, misalnya irigasi, jalan raya, jembatan-jembatan, dan
jalan kereta api. Hal ini semua dimaksudkan untuk membantu kelancaran pengangkutan
hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau
pelabuhan yang akan diteruskan ke dunia luar. Pada tahun 1873 dibangun
serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api yang pertama dibangun
adalah antara Semarang dan Yogyakarta, kemudian antara Batavia dan Bogor, dan
antara Surabaya dan Malang. Pembangunan jalan kereta api juga dilakukan di
Sumatera pada akhir abad ke-19. Tahun 1883 Maskapai Tembakau Deli telah
memprakarsai pembangunan jalan kereta api. Pembangunan jalan kereta api ini
direncanakan untuk daerahdaerah yang telah dikuasai dan yang akan dikuasai,
misalnya Aceh. Oleh karena itu, pembangunan jalan kereta api di Sumatera ini,
juga berdasarkan pertimbangan politik dan militer. Jalur kereta api juga
dibangun untuk kepentingan pertambangan, seperti di daerah pertambangan batu
bara di Sumatra Barat. Di samping angkutan darat, angkutan laut juga mengalami
peningkatan. Tahun 1872 dibangun Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan
Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) di Padang.
Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama setelah adanya pembukaan
Terusan Suez pada tahun 1869. Bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usaha swasta
tetap membawa penderitaan. Pertanian rakyat semakin merosot. Pelaksanaan kerja
paksa masih terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan
kereta api, saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya. Di samping
melakukan kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara hasil-hasil
pertanian rakyat banyak yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami
kemunduran karena terdesak oleh alat-alat yang lebih maju. Alat transportasi
tradisional, seperti dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan. Dengan demikian
rakyat tetap hidup menderita. » Nah, kamu sudah mempelajari sistem politik
ekonomi liberal. Coba bagaimana pelaksanaan politik ekonomi liberal itu di
Hindia Belanda, bagaimana dampaknya bagi rakyat? Coba buat komparasi antara
pelaksanaan Tanam Paksa dan penerapan ekonomi liberal di Indonesia! Apa
penilaianmu terhadap dua model politik penjajahan itu?
Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan.
Perkembangan agama Kristen ini tidak dapat dilepaskan dari kedatangan
bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia. Bersamaan gelombang kedatangan bangsa-bangsa
Eroapa seperti Portugis, Spanyol datang pula para missionaris untuk menyebarkan
agama Kristen di Indonesia.Aktivitas pelayaran dan perdagangan yang dilakukan
orang-orang Eropa itu sudah menjangkau
ke seluruh wilayah Kepulauan Indonesia. Dalam kenyataannya agama Kristen
Katolik dan Kristen Protestan berkembang di berbagai daerah. Bahkan di daerah
Indonesia bagian Timur seperti di Papua, daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara
Timur, juga daerah Tapanuli di Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas. Harus
diakui bahwa kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia telah membuka jalan bagi
perkembangan agama Kristen di Indonesia.
Orang-orang Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik (selanjutnya
disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen Protestan (selanjutnya
disebut Kristen). Telah diterangkan dalam uraian sebelumnya bahwa pada abad
ke-16 telah terjadi penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru. Oleh
karena itu, periode ini sering disebut The Age of Discovery. Kegiatan
penjelajahan samudra untuk menemukan dunia baru itu dipelopori oleh orang-orang
Portugis dan Spanyol dengan semboyannya; gold, glory, dan gospel. Dengan
motivasi dan semboyan itu maka penyebaran agama Katolik yang dibawa oleh
Portugis tidak dapat terlepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Minimal
secara politik, kegiatan para missionaris dalam menyebarkan agama Kristen
menjadi lebih lancar. Setelah menguasai Malaka tahun 1511 Portugis kemudian
meluaskan wilayahnya ke Kepulauan Maluku dengan maksud memburu rempah-rempah.
Pada tahun 1512 pertama kali kapal Portugis mendarat di Hitu (di Pulau Ambon)
Kepulauan Maluku. Pada waktu itu perdagangan di Kepulauan Maluku sudah ramai.
Melalui kegiatan peradagangan ini pula Islam sudah berkembang di Maluku.
Kemudian datang Portugis untuk menyebarkan agama Katolik. Berkembanglah agama Katolik
di beberapa daerah di Kepulauan Maluku. Para penyiar agama Katolik diawali oleh
para pastor (dalam bahasa Portugis, padre yang berarti imam). Pastor yang terkenal
waktu itu adalah Pastor Fransiscus
Xaverius SJ dari ordo Yesuit. Ia aktif mengunjungi desa-desa di sepanjang
Pantai Leitimor, Kepulauan Lease, Pulau Ternate, Halmahera Utara dan Kepulauan
Morotai. Usaha penyebaran agama Katolik ini kemudian dilanjutkan oleh
pastor-pastor yang lain. Kemudian di Nusa Tenggara Timur seperti Flores, Solor,
dan Timor agama Katolik berkembang tidak terputus sampai sekarang.
Berikutnya juga berkembang agama Kristen di Kepulauan Maluku
terutama setelah VOC menguasai Ambon. Pada waktu itu para zendeling aktif
menyebarkan agama baru ini dengan semangat piesme, yaitu menekankan pertobatan
orang-orang Kristen. Penyebaran agama Kristen ini juga semakin intensif saat Raffles berkuasa. Agama
Katolik dan Kristen berkembang pesat di Indonesia bagian timur. Agama Katolik juga berkembang di Minahasa
setelah Portugis singgah di tempat itu pada abad ke-16. Penyebaran agama
Katolik di daerah Minahasa dipimpin oleh pastor Diogo de Magelhaens dan Pedro
de Mascarenhas. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1563, yang dapat dikatakan
sebagai tahun masuknya agama Katolik di Sulawesi Utara. Tercatat pada ekspedisi
itu sejumlah rakyat dan raja menyatakan masuk agama Katolik dan dibaptis.
Misalnya Raja Babontehu bersama 1.500 rakyatnya telah dibaptis oleh Magelhaens.
Agama Kristen juga masuk dan berkembang di tanah Minahasa.
Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua,
wilayah Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak
di Sumatera. Singkatnya agama Katolik dan Kristen dapat berkembang di berbagai
tempat di Indonesia, termasuk di Batavia. Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen
Jawa. Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perkembangan agama Kristen di
Indonesia, secara intensif terjadi saat pengaruh kekuasaan orang-orangorang
Barat (Portugis, Belanda dan juga Inggris) semakin kuat. Agama Kristen kemudian
berkembang tidak hanya di Indonesia bagian Timur tetapi juga di berbagai
wilayah seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi. Bahkan di Jawa ada
sebutan Kristen Jawa.
Perkembangan Kristen Jawa ini tidak dapat dilepaskan dari
peran Kiai Sadrach. Dalam petualangannya mencari keyakinan agama, akhirnya ia
memeluk agama Kristen setelah dibaptis
pada tahun 1867. Ia kemudian mengembangkan Kristen Protestan dalam kandungan
budaya Jawa. Ia bebas mengembangkan agama Kristen Protestan dengan budaya Jawa.
Pengikutnya pun semakin banyak. Kiai Sadrach juga tidak mau tunduk dan bahkan
kemudian memisahkan diri dari Gereja Protestan Belanda. Ia tinggal dan
mengembangkan Kristen Protestan Jawa ini di desa Karangyoso (sebelah selatan
Kutoarjo). Banyak pengikut Kristen Jawa ini di Jawa Tengah.[gs]