Sejarah Lengkap Masa
Pendudukan Jepang - Pada jaman Hindia–Belanda kaum pergerakan kemerdekaan
diklasifikasikan dalam dua golongan berdasarkan sikapnya terhadap pemerintah
kolonial. Golongan pertama adalah golongan kooperator, yaitu mereka yang mau
bekerja sama (berkooperasi) dengan pemerintah; dan golongan yang kedua adalah
golongan non-kooperator yaitu mereka yang tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah. Bagi golongan terakhir ini, tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah dalam arti tidak bersedia menjadi pegawai negeri dan atau menjadi
anggota semacam badan perwakilan seperti Dewan Rakyat. Dewan Kotapraja dan
sebagainya (Susanto T.;1984:21-22). Tokoh-tokoh dari golongan ini yang
terkemuka antara lain Sukarno, Moh. Hatta, Cipto Mangunkusumo dan Sutan Syahrir
Sebagai akibat dari sikap dan tindakannya yang tidak mengenal kompromi terhadap
pemerintah kolonial maka dengan berbagai alasan antara lain mengganggu keamanan
umum, menetang kekuasaan pemerintah, menyiarkan kabar bohong dan sebagainya,
mereka ditangkap dan dijatuhi hukuman oleh pemerintah. Semula hukuman berupa
hukuman penjara, tetapi kemudian Gubernur Jenderal dengan baik exorbitante
rechtennya menindak kaum non kooperator yang dianggap berbahaya itu dengan
hukuman penga-singan. Sukarno pada tahun 1933 diasingkan ke Endeh, Flores,
kemudian pada tahun 1937 dipindahkan ke Bengkulu. Pada tahun 1934 Moh. Hatta
dan Sutan Syahrir diasingkan ke Digul kemudian dipindahkan ke Bandanaira.
Begitu pula Cipto Mangunkusumo sudah lebih dulu diasingkan ke Banda.
Demikian-lah mereka dengan teguh memegang prinsip dan sikap perjuangan yang
diyakininya dengan menerima segala resikonya.
Pada tahun 1942 pemerintah Hindia Belanda runtuh dan
kedudukanya digantikan oleh pemerintah Balatentara Jepang. Pada jaman
pendudukan tentara Jepang itu ternyata diantara tokoh-tokoh non kooperator di
atas tidak lagi memegang, azas non kooperasi. Mereka merubah sikap, bila pada
jaman Hindia Belanda mengambil sikap non kooperasi maka pada jaman pendudukan
Jepang bersikap koopersi. Perubahan sikap ini tentu sangat beralasan.
Sehubungan dengan itu maka tulisan ini mencoba untuk mengungkapkan permasalahan
tentang alasan-alasan apakah yang
mendorong terjadinya perubahan sikap itu.
Sikap bangsa Indonesia Terhadap Ancaman/Berbahaya Fasisme.
Sudah sejak awal abad XX Jepang menjadi imperialistis karena
berbagai faktor; di antaranya Jepang menghadapi persoalan kepadatan penduduk,
kemajuan industri-nya yangpesat dan adanya restriksi untuk berimigrasi ke
Australia dan Amerika. Ekspansi teritorial yang dilakukan oleh Jepang setelah
Perang Dunia I dihubungkan dengan suatu dokumen yang terkenal sebagai Tanaka
Memoir (Rencana Tanaka). Dokumen itu memuat rencana ekspansi yang ternyata
banyak kesesuaian dengan tindakan Jepang selanjutnya. Perlu dikemukakan bahwa
Baron Tanaka yang membuat dokumen itu adalah Perdana Menteri Jepang yang
memerintah antara tahun 1927 sampai 1929. Ekspansi teritorial Jepang itu
dimulai dengan pendudukan daerah Manchuria (1931), Cina (1937) dan disusul
dengan serbuan ke kawasan Asia Teng-gara (1941). Sebenarnya ancaman fasisme Jepang
itu sudah diperkirakan oleh beberapa tokoh pergerakan Indonesia. Dr. Ratulangi
(1928) dan Ir. Sukarno (1929) telah meramalkan bahwa pada suatu waktu kelak
akan timbul perang besar di kawasan Pasifik, yaitu antara kekuatan Inggris,
Amerika dan Jepang (Sukarno;1956:162-163). Di samping ancaman fasisme, dunia
pun terancam oleh sikap agresif ekspansionis Jerman (Naziisme) Pergerakan
politik di Indonesia pada umumnya berpendirian anti fasisme dan anti naziisme.
Hanya tentang fasisme Jepang, terdapat perbedaan pendapat. Geribdo (Gerakan
Rakyat Indonesia) sebagai pergerakan nasional sayap kiri berpendirian sesuai
dengan azas anti fasismenya. Partai ini mengutuk fasisme Jepang. Sebaliknya
Parindra (Partai Indonesia Raya) sebagai pergerakan sayap kanan ingin memakai
kekuatan Jepang untuk memukul dan menghapuskan penjajahan Belanda. Untuk maksud
itu Parindra tidak mau menentang imperialis Jepang yang makin hari terasa
mengincar ke arah Indonesia (Alisastroamidjojo, 1974:120). Sikap tokoh-tokoh
nasionalis radikal seperti Sukarno dan Moh. Hatta sudah jelas, mereka
menunjukkan sikap anti militerisme dan anti fasisme terutama melalui
tulisan-tulisannya. Pada tahun 1940, Sukarno dalam suratkabar Panji Silam
menulis suatu artikel berjudul “Indonesia versus Fasisme”. Dalam tulisannya itu
ia menegaskan bahwa jiwa Indonesia bertentangan dan tidak sesuai dengan jiwa
fasisme. Jiwa Indonesia adalah jiwa demokrasi dan jiwa fasisme adalah jiwa anti
demokrasi, jiwa anti kerakyatan (Sukarno:1963:457).
Kemudian dalam artikelnya di dalam suratkabar Pembangun
(1941) yang berjudul“Fasisme adalah politiknya dan sepakterjangnya kapitalisme
yang menurun” , pada bagian akhir artikelnya itu ia menulis : ......... kalau
karangan saya sekarang ini dapat membuka mata orang dan menanamkan benih benci
kepada fasisme di dalam hati orang, maka sudah merasa puaslah saya di dalam hati.....
(Sukarno; 1963:603). Sikap anti fasisme pada diri Sukarno nampak pula pada
ucapannya. Dalam pembicaraan yang diadakan pada tahun 1938 di Bengkulu dengan
seorang pembesar pemerintah yakni dr. L.G.M. Jaquet, ia mengemukakan bahwa
penduduk pribumi apabila mengalami pendudukan Jepang akan menderita tekanan
sosial ekonomi yang lebih berat dari pada keadaan di bawah pemerintahan Belanda
(L. De Jong;1987:27-28). Sama halnya dengan Sukarno, Moh. Hatta juga
menunjukkan sikap anti Jepang. Sebelum perang Pasifik, Hatta berkali-kali
menyatakan dengan jelas agar waspada terhadap imperialisme Jepan. Setelah
perang berlangsung ia mengulas pada surat kabar Pemandangan tanggal 22 dan 23
Desember 1941 bahwa Jepang memulai bahwa suatu kemenangan Jepang bagi Indonesia
akan mengandung arti penghambaan dan perbudakan. Pada akhir karangnya ia
menulis : .... Juga apabila kita akan mengetahui tentang kemungkinan bahwa
Jepang akan menang, tetap akan terpikul di puncak kita kewajiban untuk bangkit
mengenyahkan ancaman bagi tercapainya cita-cita kita. Lebih baik mati berdiri
dari pada hidup berlutut.....Inilah arti dari perjuangan kita (L. De Jong: 17).
Berlawanan dengan sikap kaum pergerakan, rakyat Indonesia di pulau Jawa sangat
dipengaruhi oleh Jongko Joyoboyo. Rakyat percaya bahwa ramalan itu akan terjadi
(A.G. Pringgodigdo;1978:153). Hal ini menunjukkan tanda adanya kepercayaan
terhadap hari depan Indonesia yang gemilang. Jadi rakyat masih mempunyai
penghargaan. Adanya pengharapan inilah yang menjadi landasan kuat bagi rakyat
untuk tetap bertahan dalam penderitaan bagaimanapun beratnya seperti yang
dialaminya pada jaman pendudukan Jepang. Demikianlah sikap bangsa Indonesia
menghadapi ancaman fasisime/ militerisme yang mengancam dunia tidak seragam,
sebagaimana tercermin dari sikap kaum pergerakan dan sikap rakyat di atas.
Sikap Sukarno-Hatta Terhadap Pemerintah Militer Jepang
Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang memicu Perang Asia
Timur Raya dengan melakukan pemboman terhadap pangkalan armada Amerika Serikat
Pearl Harbour di Hawaii. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Tjarda Strakenborgh
Stachouwer setelah mendengar berita Jepang telah mulai membuka peperangan
kemudian mengumukan bahwa Hindia-Belanda dalam keadaan perang melawan Jepang
(A.G. Pringgodigdo:150). Dalam perang itu Angkatan Perang HindiaBelanda
terpaksa harus bertekuk lutut kepada Balatentara Jepang. Pada tanggal 9 Maret
1942 Jenderal Ter Poorten sebagai Panglima Tentara Belanda di Hindiabelanda
menanda-tangani menyerahkan tidak bersyarat di Kalijati (Subang, Jawa Barat)
kepada Jenderal Hitoshi Imamura, dan selanjutnya ia bersama-sama dengan
Gubernur Jenderal Tjarda menjadi tawanan Jepang. Dengan demikian demikian
tamatlah riwayat penjajahan Belanda di Indonesia dan kemudian berganti dengan
penjajahan Jepang. Dalam menjalankan pemerintahan di Indonesia, pemerintah
militer Jepang mengalami kesukaran-kesukaran. Yang pertama berhubungan dengan
keadaan geografi Indonesia terdiri dari daerah yang luas denganpulau-pulaunya
yang sangat banyak. Masyarakatnya bersifat heterogen dengan berbagai sukubangsa
dan adat-istiadatnya masing-masing. Yang kedua, kurangnya pengetahuan Jepang
tentang Indonesia dengan segala sifat-sifatnya tadi. Yang ketiga, Jepang
kekurangan tenaga untuk bisa mengisi jabatan-jabatan yang lowong karena
ditinggalkan oleh Belanda (G. Mujan-to;1974:74). Sehubungan dengan
kesukaran-kesukaran tersebut dan juga untuk menyelesaikan Perang Asia Timur
Rayanya, pemerintah militer Jepang sangat memerlukan dukungan dan batuan
penduduk, sehingga untuk itu diperlukan “kerja sama” dengan tokoh-tokoh
nasionalisme terkemuka Indonesia seperti Sukarno dan Moh. Hatta. Ketika tentara
Jepang menyerbu Indonesia, Sukarno dan Moh. Hatta dalam status sebagai
interniran. Sukarno berada di Sumatra, sedangkan Moh. Hatta sudah kembali ke
Jawa, sehingga pimpinan militer Jepang di Jawa mengadakan hubungan dengan Moh.
Hatta lebih dulu dari pada Sukarno. Dalam neghadapi uluran tangan Jepang untuk
saling kerjsama demi kepentingan masing-masing, sikap dan alasan yang ditempuh
pleh Moh. Hatta dapat dibaca pada otobiografinya “Memoir”, sedangkan sikap dan
alasan Sukarno dijumpai pada otobiografinya “Bung Karno Penyambung Lidah rakyat
Indonesia”.
a. Sikap Moh. Hatta
Moh. Hatta yang diinternir oleh pemerintah Hindia-Belanda di
Bandanaira, bersama-sama dengan Sutan Syahrir dipindahkan ke Sukabumi pada awal
bulan Februari 1942. Mereka ditempatkan di Sekolah Polisi. Kurang lebih sepuluh
hari setelah Hindia-Belanda runtuh, seorang pembesar kempetai diiringi oleh
seorang juru bahasanya dan seorang Indonesia bernama Sulaiman Effendi datang ke
tempat Moh. Hatta Pembesar kempetai itu mengatakan bahwa ia tahu riwayat hidup
Moh. Hatta dan karena penjajah Belanda sudah ditaklukkan oleh Jepang maka
hendaklah Moh. Hatta bersedia datang ke Bandung ke Pusat Tentara Jepang dan
menyatakan kese-diaan bekerja sama dengan tentara Jepang untuk menjaga
keselamatan rakyat dan menangkis serangan kaum Sekutu. Dengan adanya desakan
itu, Moh. Hatta menyatakan kesanggupannya datang ke Bandung pada hari Minggu
tanggal 22 Maret 1942 (Moh. Hatta;1982: 391). Namun sehari sebelum
keberangkatannya, yakni pada Sabtu tanggal 21 Maret 1942, Moh. Hatta mendapat
surat dari bupati Sukabumi yang isinya mengatakan bahwa seorang kolonel tentara
jepang bernama Kol. Orgura ingin bertemu. Dalam pertemuan pada sore hari, Kol.
Ogura menjelaskan bahwa ia ditulis oleh Jenderal Harada dan minta kesediaan
Moh. Hatta untuk bersama-sama pergi ke Jakarta (Moh. Hatta; 393). Dari dua
pilihan itu, harus pergi ke Bandung ataukah Jakarta, maka Moh. Hatta akhirnya
memilih pergi ke Jakarta bersama Kol. Ogura. Di Jakar-ta Moh. Hatta berkenalan
dengan beberapa perwira Jepang antara lain Kol. Mioshi dan Kol. Nakayama.
Perwira-perwira inilah yang mengurus tempat tinggal dan fasilitas lain bagi
Moh. Hatta di Jakarta. Pada tanggal 26 Maret Moh. Hatta bertemu dengan Jenderal
Harada. Dalam pertemuan itu, Harada mengatakan bahwa ia mengetahui betul
aktivitas Moh. Hatta sebagai seorang nasionalisme dan ingin mengetahui apakah
mau bekerja sama dengan pemerintah militer. Moh. Hatta menjawab bahwa ia ingin
mengetahui terlebih dulu apa, maksud Jepang sebenarnya, apakah Jepang bermaksud
menjajah Indonesia. Harada menyatakan tidak, dan menekankan bahwa cita-cita
Jepang adalah membebaskan semua bangsabangsa Asia yang ditaklukkan oleh bangsa
Barat. Atas penjelasan Harada itu, kemudian Moh. Hatta menyatakan
persetujuannya, hanya saja ia tidak sebagai pejabat pemerintah milietr
melainkan sebagai penasihat semata (Moh. Hatta: 400; L. De Jong: 19). Dari
keterangan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa Moh. Hatta rupa-rupanya yakin pihak Jepang
sungguh-sungguh bersedia memberikan kemerdekaan bagi Indonesia atau setidak-tidaknya
pemerintahan sendiri sesuai dengan propagandanya sebelum invasi. Sumber lain
yang dapat mengungkapkan latar belakang kesediaan Moh. Hatta berkoopersi dengan
Jepang ialah hasil wawancara Nugroho Notosusanto dengan Moh. Hatta pada tanggal
29 Juli 1976. Moh. Hatta bercerita bahwa ketika Jepang masuk kota Sukabumi
dimana ia ditahan Belanda, terjadi suatu insiden yang sangat berkesan di dalam
sanubarinya. Seorang Belanda denan mobilnya menyeret mobil seorang Jepang,
akibatnya ia langsung ditembak mati oleh Jepang itu. Kejadian itu menurut Moh.
Hatta memberikan kepadanya keyakinan, bahwa sikap melawan secara terangterangan
terhadap kekuasaan pihak Jepang akan berarti bunuh diri (Nugroho
Notosusanto;1979:15). Atas dasar cerita Moh. Hatta di atas, jelaskan bahwa
mengambil sikap yang berlawanan dengan pihak Jepang resikonya terlalu besar dan
agaknya melakukan kooperasi dengan pihak Jepang merupakan sikap dan tidakan
yang wajar dilakukan.
b. Sikap Sukarno
Ketika tentara Jepang menyerbu Palembang sebagai sasarannya
yang pertama di Sumatra, Sukarno masih berada di Bengkulu. Baru pada saat
tentara Jepang bergerak menuju Bengkulu, Sukarno beserta keluarganya diungsikan
oleh polisi ke Padang dengan mengalami penderitaan dalam perjalanan. Menurut
rencana, mereka akan dibawa ke Australia, tetapi sesampainya di Padang Belanda
dalam keadaan panik karena angkatan laut Jepang sudah mendekat. Di kota itu
Sukarno ditinggalkan oleh para polisi yang seharusnya mengawasi dan menjaganya.
Setelah mendapatkan hotel untuk keluarganya, Sukarno mencari sahabatnya yang tinggal
di kota itu yakni Woworuntu. Keluarga Sukarno kemudian pindah ke rumah
Woworuntu. Untuk menenangkan rakyat yang panik, Sukarno mengambil alih tampuk
pimpinan. Ia membentuk komando rakyat yang bertugas sebagai pemerintahan
sementara dan untuk menjaga ketertiban. Dalam pidatonya pada rapat umum ia
menyatakan agar rakyat jangan melawan tentara Jepang, agar dihindari
pertumpahan darah, namun jiwa harus tetap bertekad untuk merdeka (Cindy
Adams;1966:208)
Pada hari pertama tentara Jepang menduduki Padang, Sukarno
dalam pembicaraannya di malam hari dengan Woworuntu menyatakan bahwa ia akan
memperalat Jepang untuk kepentingan rakyat (Cindy Adams:21). Esok harinya
datang ke rumah Woworuntu kapten Sakaguchi menjumpai Sukarno. Melalui kapten
Sakaguchi inilah Kol. Fujiyama, Panglima Tentara Jepang di Bukittinggi, minta
agar Sukarno bersedia datang ke Bukittinggi. Permintaan itu dipenuhi oleh
Sukarno, dan ia segera datang menghadap Kol. Fujiyama. Dalam pertemuan itu Kol.
Fujiyama menanyakan kesediaan Sukarno untuk bekerja sama dengan Jepang. Tawaran
itu diterima oleh Sukarno dengan minta jaminan, bahwa selama ia bekerja untuk
kepetingan Jepang, ia juga diberi kebebasan bekerja untuk rakyatnya dengan
pergantian bahwa tujuannya yang terakhir adalah di suatu waktu, dengan salah
satu jalan membebaskan rakyat dari kekuasaan Belanda maupun Jepang Kol.
Fujiyama mengatakan bersedia menjamin dan pemerintah Jepang tidak akan
menghalang-halanginya (Cindy Adams:217). Di Bukittinggi itulah Sukarno untuk
sementara membantu Fujiyama menjalankan pemerin-tahannya. Karena kemudian
pemerintah militer Jepang di Jawa memerlukan Sukarno maka Sukarno harus kembali
ke Jawa. Dalam perjalanan ke Jakarta, Sukarno terpaksa harus tinggal sementara waktu di Palembang karena pembesar
militer Jepang di kota itu menghendaki bantuannya untuk memecahkan
kesukaran-kesukaran yang mereka hadapi. Setelah sebulan di Palembang Sukarno
dibebaskan untuk melanjutkan perlajanan ke Jakarta.
Ketika tiba di Jakarta pada tanggal 9 Juli 1942 untuk
memenuhi keinginan Letnan Jenderal Imamura, maka bertemulah ia dengan
kawankawan seperjuangannya antara lain Moh. Hatta, bertiga dengan Sutan
Syahrir, Sukarno membicarakan taktik perjuangan menghadapi Jepang. Disepakati
bahwa mereka akan bekerja dengan dua cara “di atas tanah” dan di bawah tanah”.
Menurut Bung Karno, untuk memperoleh konsesi-konsesi politik yang berkenaan
dengan pendidikan militer dan jabatan-jabatan pemerintah bagi orang-orang
Indonesia, maka jalan yang ditempuh adalah dengan cara kollaborasi (Cindy Adams:265).
Pendapat Bung Karno itu dimengerti oleh Bung Karno dan Sutan Syahrir, yang
selanjutnya Bung Hatta sendiri menegaskan bahwa kekuatan Bung Karno adalah
untuk menggerakkan masa, jadi Bung Karno harus bekerja secara terang-terangan.
Atas tanggapan Bung Hatta itu, Bung Karno minta kesediaan Bung Hatta untuk
membantunya. Menyambung pertanyaan Bung Hatta, Sutan Syahrir mengatakan bahwa
Bung Karno dan Bung Hatta barangkali tidak dapat mengelakkan kerjasama itu
(Moh. Hatta:416), selanjutnya ia menyanggupkan diri mengadakan gerakan bawah
tanah dan menyusun bagian penyadapan berita dan gerakan rahasia lainnya (Cindy
Adams:266). Di samping untuk memperoleh konsesi-konsesi di atas, kerja sama
dengan Jepang adalah untuk mendidik dan mempersiapkan rakyat menghadapi revolusi.
Jepang memberikan kepada bangsa Indonesia kepercayaan kepada diri sendiri
sehingga mengakibatkan bangsa Indonesia tidak merasa lebih rendah dari orang
Barat (lenyapnya rasa inferioritet); tetapi kekejaman Jepang memang sangat
berat dirasa-kan. Kondisi seperti ini diharapkan oleh Bung Karno dapat
menciptakan kebulatan tekad. Jika rakyat benar-benar merasa berat tertindas,
maka akan timbul revolusi mental dan setelah itu menyusul revolusi pisik (Cindy
Adams : 267) Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Sukarno mau bekerja sama
dengan Jepang bukan didorong oleh perasaan takut mati karena jiwa pengecut,
melainkan sebagai upaya untuk mencari “keuntungan” yang mungkin dapat diperoleh
bagi bangsa Indonesia selama pendudukan Jepang. Keuntungankeuntungan itu sudah
barang, tentu berupa kesempatan-kesempatan yang dapat menunjang perjuangan
mencapai kemerdekaan Indonesia. Kenyataan telah membuktikan bahwa kerja sama
dengan Jepang memberikan peluang untuk dapat berkomunikasi dengan rakyat yang
pada masa sebelumnya sulit dilakukan. Terbentuknya Putera (Pusat Tenara Rakyat)
sebagai badan penghimpunan segala potensi rakyat memberikan jalan ke arah itu.
Peluang inilah yang kelihatannya ditujukan untuk kepetingan Jepang sebenarnya
ditujukan untuk kepetingan bangsa Indonesia sendiri. Semangat anti imperialis
Barat dikorbankan sebagaimana dilakukan oleh Bung Karno dengan ucapannya
“Amerika kita seterika, Inggris kita Linggis” (John Lengge;1986:112). Tegasnya
dalam setiap kegiatan propaganda selalu diselipkan ajaran-ajaran nasionalisme
dan patriotisme agar rakyat tetap tegar dalam menghadapi segala kesulitan dan
tekanan-tekanan berat. Sejalan dengan semangat anti Barat maka di lapangan
pemerintahan orang-orang Indonesia banyak yang menduduki jabatan-jabatan
penting yang
pada jaman sebelumya dipegang oleh orang-orang Belanda. Hal
ini menguntungkan bangsa Indonesia tidak canggung lagi untuk mengatur dan
menjalankan pemerintahan sendiri. Selanjutnya dilapangan pertahanan, dengan
alasan untuk memperkuat pertahanan militer Jepang di Indonesia dibentuklah
pasukan Pembela Tanah Air (Peta) atas usul seorang pemimpin nasionalis
Indonesia. Pembentukan Peta sebenarnya dimaksudkan untuk
persiapan bagi kekuatan pertahanan negara Indonesia merdeka.
Ketika Republik Indonesia berdiri, banyak mantan prajurit Peta memasuki Tentara
Nasioal Indonesia (TNI) dan menjadi inti angkatan perang Republik Indonesia.
4. Kesimpulan.
Dari uraian diatas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa
Sukarno dan Moh. Hatta bersedia bekerja sama dengan Jepang didasarkan atas
faktor-faktor sebagai berikut : Pertama, pemerintah militer Jepang keras dan
kejam sehingga penderitaan rakyat semakin berat. Untuk meringankan atau
mengu-rangi beban rakyat dan melindungi mereka serta untuk keselamatan pribadi
Sukarno-hatta mau tidak mau harus berkolaborasi dengan Jepang. Kedua, dengan
berkolaborasi, Sukarno-Hatta mengharapkan mendapat konsesi-konsesi politik yang
menguntungkan bangsa Indo-nesia dalam rangka mencapai cita-cita perjuangan
Indonesia. Ketiga, menyiapkan rakyat untuk menghadapi revolusi, mulai dari
revolusi mental yakni perubahan sikap dari patuh, penuntut menjadi menentang,
melawan, menuju ke revolusi pisik. Berkaitan dengan itu persatuan nasional dan
semangat untuk merdeka perlu tetap digalang dan dipertahankan.[gs]